Kisah ini bermula dari pena yang penasaran terhadap suatu buku tulis bersampulkan beludru biru laut dalam.
Menelan tinta, tidak semua penasaran berakhir hebat. Buku itu menelan tinta.
Buku, itu, menelan, tinta.
Pena kira, dengan beludru gelap yang terlihat keren jika bersanding dengannya di meja kerja manusia, akan menjadikan ia dan buku tersebut kesatuan paling mutakhir.
Tapi pena adalah pena, buku adalah buku. Halaman pertama buku tersebut adalah halaman pelindung, berisikan banyak hal baik. Pena senang, tintanya akan nampak indah dengan halaman berhiaskan ornamen meliuk-liuk.
Halaman keduanya memperlihatkan garis-garis pembatas. Untuk apa sebuah buku mempunyai halaman dengan garis pembatas tidak beraturan. Pena adalah pena. Buku adalah buku. Sama-sama tidak pernah telanjang.
Sama-sama ingin tahu, apa rahasia dibalik rangka kokoh ataupun belundru biru tua tersebut.
Buku itu, halamannya menelan tinta. Tepat dihalaman ketiga.
Pada halaman ketiga, kertasnya cacat. Buku itu menelan tinta, pena heran. Tintanya hilang. Tintanya tampak jelek dengan warna semrawut dan sebagian besarnya hilang karena halaman cacat tadi menelan tinta.
Pena tidak suka. Mereka telanjang dengan perasaan tidak suka dan buku yang terdiam.
Buku yang diam, buku yang diam, buku yang diam.
Buku, dengan sampul beludru biru tua. Telanjang.
Telanjang, hanya untuk memuaskan penasaran, hanya untuk kecewa.