Dia berbaring pada garis pantai, dibelai oleh sapuan dingin ombak malam hari. Badannya hangat, seperti meriang, dengan botol alkohol yang masih terisi setengah di sebelah. Orang gila, menghitung bintang sambil menarik garis ekornya, bertanya rasi apa yang sedang ia lihat. Terpukau, langit dan laut malam hari benar-benar ajaib. Angin dengan rasa yang asin tapi menyentuh lembut pipi merah dan ujung jari tangannya seperti pacar yang ingin dicumbu, membuat candu. Sesekali ia mengusap matanya, dunia berbayang seperti seorang silindris melihat objek tanpa kaca mata.
Kemudian ia duduk, membakar selinting mawar hijau yang sengaja dibawanya dari kontrakan seorang selir. Mereka memang sering berbagi dosa, menjadi lacur, dan kadang mentertawakan kucing lucu yang lewat depan teras kontrakan putih gading itu. Wangi merekah dari asap batangan yang disulut api kebiruan. Orang gila, berpikir bahwa turbulensi khayal yang sedang ia nikmati adalah upaya terowongan lubang hitam untuk menarik masuk ia, menggoda, seakan-akan “Ayo kamu kesini,” menuju nirwana beralaskan rumput hijau dengan dekorasi bunga putih, kuning, ungu, jingga yang terang. Tertarik rayuan tersebut, ia merangkak sambil merasakan pusing luar biasa. Ketika sampai, ia mengusap lembut bunga yang bertebaran, pohon yang tumbuh dengan karismatik, serta memotret dalam kepala hiruk pikuk binatang yang hidup.
Ia duduk, menggapai salah satu bunga putih, meremas, memakan, meludah. Orang gila, seperti ingin tumbuh menjadi bagian sepetak eden yang ditapakinya, lalu berbaring. Dirinya seakan berada dalam turbulensi besar, entah dirasuki badai atau malah dialah sumber putaran arus angin, namun anehnya ia menemukan nyaman bersama gelitikan dan rasa yang seperti tertusuk banyak jarum kecil, bersamaan dengan turbulensi dari entah itu pikiran atau aliran darahnya. Berdiri sempoyongan, dia pikir dia meneteskan banyak darah ketika melangkah, mewarnai bunga putih disekitarnya, melapisi rumput, belukar, dan banyak lagi.
Orang gila, tidak seharusnya ia beralamat nirwana, tidak seharusnya ia masuk turbulensi -khayal-, karena itu semua hanya imaji karya reaksi kimiawi otaknya. Terpujilah mawar hijau beserta alkohol mahal yang ia tenggak.
Terpujilah, asin laut beserta angin sepoi-sepoinya.
Terpujilah, gemericik ombak, pecah di ujung jari kakinya.
Bagaimana rasanya mencumbu laut, bagaimana rasanya mencintai eden yang asri, bagaimana, bagaimana, serta bagaimana lainnya yang berputar-putar menari diatas awan kelam malam.
Maka dengan cintanya, mimpinya, segala bentuk emosional yang hidup dalam sukmanya, ia mendatangi laut, menyapa ombak yang sudah bermain bersama kakinya. Ia mulai menyentuh laut, mencium, memeluk, meraba, melepas hasrat untuk kemudian menidurinya. Laut, dengan hangat, menerima perlakuannya.
Laut, dengan hangat, menjemputnya.
Cerita ini berakhir dengan ia yang tinggal bersama laut. Kekal, bukan lagi orang gila.
Bersamaan dengan itu, selir dan manusia lainnya merawat ingatan bahwa ia mati di laut. Mati dengan penuh cinta, entah cinta seperti apa, entah dunia seperti apa. Yang jelas, keriput kulit yang dicupang oleh laut dan senyum bahagia, walau matanya sudah tidak terlihat ada, menggambar penuh warna kebiruan yang cantik. Bahwa ia, tidak mati, melainkan hidup.
Bahwa sebelumnya ia mati, dan kini hidup. Apalah siklus hidup dan mati sebenarnya?